Di zaman Dinasti Han negeri China memberitakan bahwa raja Yeh-tiao bernama Tiao-pen mengirimkan utusan ke China pada tahun 132 Masehi.
Seorang ilmuan ahli ilmu bumu Yunani Purba bernama Claudius Ptolemeus, di dalam bukunya Georgrahike Hyphegesis yang ditulis tahun 150 Masehi menyebutkan adanya sebuah kota Argyre di timur jauh yang terletak di ujung Pulau Ibadiou. Ibadio adalah pulau subur dan banyak menghasilkan emas dan dapat dicapai setelah melalui 5 Pulau Barousai dan 3 Pulau Sabadibai. Ptolemeus mencatat Iabadiou berdasarkan berita dari saudagar-saudagar Arab yang bisa berdagang ke India.
Sebutan Ibadiou merupakan ucapan bahasa Prakrit Yawadiwu, yang senada dengan ucapan bahasa Sansekerta, Yawadwipa. Yawadwipa berarti pulau Jawa. Yawa berarti tumbuh-tumbuhan sejenis padi yaitu hanjeli.
Sementara Ir. Moens yang diperkuat oleh Dra. Satyawati Sulaeman di dalam bukunya “Sejarah Indonesia, Kursus B.I” dan Warsito Sastroprajitno dalam bukunya “Rekonstruksi Sejarah Indonesia I”. Ketika membahas Argyre yang disebut-sebut Ptolemeus. Mereka berpendapat dan menduga bahwa Argyre sama dengan Ligor di tanah genting Kra Semenanjung Malaysia.
Dengan “teori pergeseran lokasi” inilah Warsito menyimpulkan bahwa kerajaan Yawadwipa yang bermula terdapat di India hijrah ke daerah Muang Thai, kemudian bergeser ke Semenanjung Malaysia. Selanjutnya bergeser ke Kalimantan Timur. Berdasarkan Prasasti Cenggal 732 Masehi Argyre hijrah ke pulau Jawa. Kemudian dilokasikan di Cirebon.
Dugaan selanjutnya ialah desakan Tarumanegara yang hijrah akibat desakan Sriwijaya, berdasarkan Prasasti Kota Kapur (Bangka), Argyre terpecah menjadi dua jurusan. Yang satu ke Selatan, yang satunya ke muara sungai Brantas. Oleh karena, ia berpendapat, di selatan Cirebon terdapat nama daerah Bojong Galuh atau sama dengan Ujung Galuh di daerah delta sungai Brantas. Dugaan ini disimpulkan berdasar keterangan Poerbatjaraka bahwa kat Galuh berarti perak, yang sama halnya artinya dengan Argyre. Hijrahnya Taruma ke Cirebon dihubungkan dengan nama Gunung Ciremai, yang jika diucapkan diduga sebagai ubahan dari kata Taruma.
Lain halnya dengan pendapat Wolters bahwa identitas Argyre adalah kota perdagangan di Ko-ying Sumatra. Wolters melokasikan Ko-ying di pantai Tenggara Sumatra, antara Gunung Merapi dan Gunung Dempo. Hal tersebut didasarkan keterangan bahwa Ko-ying diberitakan terletak di sebelah barat laut Ssu-t’iao (Jawa), cocok dengan berita Ptolemeus bahwa Argyre berlokasi di ujung barat Iabadiou.
Menurut berita China, jarak Ko-ying dengan Ssu-tiao adalah 3000 li. Di sebelah utara Ko-ying terdapat gunung berapi dan teluk sebelah selatannya terdapat P’u-lei. Gambaran tersebut menunjukkan lokasi Ko-ying itu haruslah berada di daerha pantai Tenggara Sumatra. Penggabungan Ko-ying inilah yang melakukan perdagangan kuda dengan India.
Tahun 132 Masehi China mencatat pula bahwa raja Yeh-tiao yang bernama Pien meminjamkan meterai emas dan pita ungu kepada maharaja Tiao-pien.
Jika dilihat dari beberapa pendapat diatas maka disimpulkan bahwa tidak ada pendapat yang sama tentang lokasi Yeh-t’iao.
1. Pelliot berpendapat di Pulau Jawa
2. Stein berpendapat di perbatasan China barat daya
3. Fujita Toyochachi berpendapat di Pulau Ceylon
Wolters tidak menyinggung nama Pien sama sekali. Dan jika pendapat Krom, Pien sama dengan P’i-ch’ien sebagaimana anggapan ahli-ahli lainnya, ternyata Pien bukan nama orang, tetapi nama tempat.
Dalam berita China tahun 250 Masehi yakni sebuah daerah bernama Tu-po, dianggap dekat dengan lafal Cheu-po, di dalam bahasa Sansekerta berbunyi Yawa. Kemudian berita yang lebih akhir lagi disebutkan Cheu-ye yang dianggap senada dengan Jawa. Akan tetapi ada juga yang beranggapan lebih tepat dengan kata Jaya.
Demikian sungguh sulitnya mengidentifikasikan lokasi Jawa Barat bahkan jika seandainya tidak ditemukan Prasasti Ciaruteun yang bertuliskan huruf Pallawa yang berlokasi di Sungai Ciaruteun, Bogor, mungkin saja Tarumanagara tidak akan pernah ada dalam sejarah nasional Indonesia.
Hal ini berarti dugaan para ahli bahwa Jawa Barat dianggap daerah yang sangat kurang memiliki nilai kesejarahan. Tentu dengan alasan, jika Tarumanagara dianggap kerajaan tertua di Jawa Barat dari abad ke-5 Masehi, maka akan menimbulkan beberapa hal yang berseberangan, antara lain:
1. Jika memang berindikasi Kerajaan Hindu, dimanakah letak candi-candinya? Dan
2. Jika memang sebuah kerajaan, dimanakah bekas keratonnya?
Akhirnya, Wangsakerta Cirebon dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara yang ditransliterasikan dan diterjemahkan oleh Drs. Saleh Danasasmita sebagai berikut:
Pada awal tarikh Saka datang orang-orang Barat yakni dari negeri Singa (Sri Langka), Saliwahana, dan Benggala di bumi Bharatawarca (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan perahu. Mereka bermula menuju ke Jawa timur, lalu ke Jawa Barat karena kegiatan perdagangan dengan penduduknya. Asal-muasal penduduk pribumi pun adalah orang-orang pendatang dari kawasan benua utara yang leluhurnya tiba di Pulau Jawa beberapa ratus tahun lebih terdahulu.
Adapun barang-barang yang dibawa diantaranya: bahan pakaian, perhiasan berupa ratna, emas, perak, permata, mustika, obat-obatan, bahan makanan, serta perabota rumah tangga lainnya. Sedangkan bahan yang mereka beli adalah: rempah-rempah serta hasil bumi seperti beras dan sayuran.
Di anatara mereka ada yang terus menetap dan menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur dan Nusa Bali. Bahkan di Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya di bumi nusantara yang disebut juga Dwipantara. Penduduk pulau Jawa telah menguasai ilmu sehingga kedatangan mereka diterima sebagai tamu dengan penuh rasa kasih dan rasa persaudaraan.
Kehidupan penduduk di sini makmur. Mereka menamakan pulau-pulau di bumi Dwipantara ini, terutama Pulau Jawa, laksan surga di muka bumi. Demikianlah keadaan mereka bahagia dan di antaranya mereka memperistri gadis di sini, kemudian beranak-pinak.
Kemudian beberapa tahun datanglah orang-orang dari Langkasuka, Saimwang, dan Ujung Mendiani (Semenanjung) ke Jawa Barat dan bumi Sumatera dengan perahu. Lalu mereka berjodoh dan menetap disitu tidak pulang kenegri asalnya. Kemudian masing-masing dari mereka mendirikan rumah untuk tempat tinggal keluarganya yang disebut rumah panggung. Kolong rumah panggung itu digunakan untuk kandang tempat pemeliharaan hewan.
Mereka itu bergabung untuk samakarya (bergotong royong) membangun rumah dan menebang hutan, dan bergabung membuat rumah (hundagi) serta pandai besi.
Para pendatang dari india itu juga mengajarkan agama yang diantunya. Mereka mengajarkan pujaan yang disebut Dewa Iswara, yaitu Dewa Brahma, dewa Wisnu, dan Dewa Siwa yang disebut Trimurtiswara. Walaupun demikian adanya mereka tidak saling bertentangan hidup dalam persaudaraan.
Penduduk disini berasal dari kaum pendatang juga yang memuja roh, api, bulan dan matahari. Kaum pendatang dari India itu menguasai ilmu karena mereka telah mempelajari di negeri asalnya. Mereka tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di sini. Hanya nama pujaannya yang diganti disesuaikan dengan adat penduduk di sini.
Dengan cara demikianlah, mereka tidak menemukan kesulitan untuk mempelajarinya. Demikan pula pemujaan api disamakan dengan pemujaan Dewa Agni, pemujaan matahari disamakan dengan pemujaan Dewa Aditya atau Dewa Surya. Sedangkan pemujaan roh besar disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang Brahmana yang disebut pemujaan tiga dewa atau trimurti. Tidak cukup waktu lama kemudian penduduk di sini memeluk agama baru.
Banyak di antara pendatang yang menikahi para panghulu desa. Kelak anaknya akan menggantikan kedudukan kakeknya. Oleh sebab itu, desa-desa di pulau Jawa makin lama makin dikuasai oleh keturunan pendatang. Demikian pun penduduk dan kekayaannya. Penduduk di sini tidak berdaya dan panghulu desa itu telah dijungjungnya menjadi sang penguasa. Putera pendatang baru atau cucu sang panghulu menjadikan semua tanah sebagai miliknya atau berada di bawah kekuasaannya.
Meskipun demikian keadaan desa-desa tetap makmur, dan hasil bumi melimpah. Dikarenakan pulau Jawa tanahnya subur. Demikian pulau-pulau lain di Dwipantara.
Oleh karena itu antara tahun 80 sampai 320 Saka sangat banyak perahu yang datang dari berbagai negeri ke Pulau Jawa diantaranya dari: India, China, Benggala, dan campa. Banyak diantara mereka membawa keluarganya dan menetap menjadi penduduk di sini.
Mereka datang membawa perahu besar, ada yang datang beserta pendeta agama Wisnu dan setibanya mereka mengajarkan ajaran agamanya kepada penduduk desa. Kemudian mereka menetap. Adapun pendeta agama Siwa datang dari Jawa Timur dan Jawa Tengah mengajarkan agama mereka kepada para panghulu dan pemuka masyarakatnya.
Di antara pendatang itu berasal dari keluarga Calankanaya dan Pallawa di bumi India. Dua keluarga inilah yang paling banyak datang dibawah pimpinan Dewawarman dari keluarga Pallawa. Mereka datang di Jawa Barat pertama kali untuk berdagang, selanjutnya mereka selalu datang kesini dan kembali membawa rempah-rempah.
Sang Dewawarman telah bersahabta dengan penduduk pesisir Jawa Barat, Nusa api (Krakatau) dan pesisir selatan Pulau Sumatera. Dalam hal ini pun Dewawarman bertindak sebagai duta Maharaja Pallawa.
Sang panghulu atau penguasa daerah pesisir Jawa barat ketika itu bernama Aki Tirem alias Sang Aki Luhur Mulya. Puterinya bernama Pohaci Larasati. Aki Tirem adalah putera Ki Srengga. Ki Srengga puter Nyi Sariti. Nyi Sariti putera Aki Bajul Pakel. Aki Bajul Pakel puteranya Aki Dungkul yang berasal dari Sumatera bagian selatan, yang pindah ke pesisir barat Jawa Barat. Ki Dungkul putera Ki Pawang Sawer yang tinggal di Sumatera bagian selatan. Aki Pawang Sawer putera Datuk Pawang Marga. Datuk Pawang Marga puter Ki bagang yang menetap di Sumatera bagian utara. Ki Bagang putera Ki Datuk Benda.Datuk Benda putera Nesan yang tinggal di daerah Langkasuka. Leluhur Ki Nesan berasal dari Yawana bagian barat.
Dewawarman beserta pengikutnya selalu berkeling melindungi penduduk karena kampung-kampung di sepanjang pesisir sering didatangi bajak laut dan perompak. Kemudian suatu ketika terjadilah pertempuran hebat antara perompak dengan pasukan Dewawarman dan pasukan Aki Tirem. Gerombolan perompak dapat dikalahkan. Dewawarman dan pasukannya unggul dalam pertempuran meskipun pasukan Dewawarman 2 orang tewas dan pasukan Aki Tirem 5 orang tewas. Namun dilain pihak, gerombolan perompak mati ada 37 orang dan 22 yang ditawan.
Semua perompak yang ditawan akhirnya mati digantung. Kemudian Sang Panghulu mengadakan pesta kemenangan. Pesta tersebut dimeriahkan dengan bunyi gamelan yang mengiringi tarian. Tiba istri Sang Dewawarman yaitu Pohaci Larasati, bersanding dengan dayang-dayang dan pengiring yang memesona lalu bersanding pula suami disampingnya. Pasukan Dewawarman terpesona oleh kecantikan dayang dan penari yang pada akhirnya mereka menikahi dan lebih memilih menetap sebagai penduduk lalu beranak pinak.
Beberapa tahun sebelumnya Sang Dewawarman menjadi duta keliling negaranya, Pallawa, untuk negara-negara bersahabat seperti: Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, dan Abasid (Mesopotamia) dengan tujuan mempererat tali persahabatan dan berniaga hasil bumi serta barang-barang lainnya.
Tatkala Aki Tirem jatuh sakit, sebelum menghela nafas terakhirnya, Aki Tirem menyerahkan kekuasaannya kepada menantunya yaitu Dewawarman. Kemudian Dewawarman menjadi penguasa daerah tersebut. Semua penduduk menerima dengan senang hati, terlebih pengikut Dewawarman yang telah memiliki anak.
Dewawarman menjadi penguasa dengan nama nobat Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara, sedangkan istrinya Pohaci Larasati menjadi permaisurunya dengan nama nobat Dewi Dwani Rahayu. Kerajaannya diberi nama Salakanegara. Dengan ibukotanya Rajatapura (kota perak, sama artinya dengan Argyre Ptolemeus).
Daerah kekuasannya meliputi Jawa Barat bagian barat dan semua pulau di sebelah barat Nusa Jawa, laut di antara Pulau Jawa dengan Sumatra. Daerah-daerah sepanjang pantainya dijaga oleh pasukan Sang Dewawarman sebab jalur ini merupakan gerbang laut. Perahu-perahu yang berlayar dari timur ke barat dan sebaliknya harus membayar upeti kepada Sang Dewawarman. Daerah-daerah pelabuhan di pesisir Jawa Barat yang dijaga pasukan Dewawarman meliputi: Nusa Mandala (Pulau Sangiang), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir Sumatra bagian selatan.
Bebrapa kali Dewawarman memimpin pasukannya melawan perompak namun berkat kemahirannya dalam berperang akhirnya Dewawarman dapat memenangkan pertempuran-pertempuran tersebut.
Dewawarman menjadi raj selama 38 tahun, dari tahun 52 Saka sampai tahun 90 Saka (130 – 168 Masehi). Ia beristrikan dua orang, yang pertama seorang putri Benggala di India dan yang kedua Putri Aki Tirem yaitu Pohaci Larasati